Baru-baru ini kami mengantar temanten laki-laki untuk ijab yang pengantin putrinya tinggal di kompleks yang sama, hanya seratusan meter ke selatan jauhnya.
Ada jalan lebar utara-selatan yang akan sangat menguntungkan bagi kami yang mengantar. Akan tetapi, calon besan mengajukan syarat yang menurut kami tidak masuk akal. Harinya harus pas, itu bisa dimengerti. Jamnya harus tepat, itu juga bisa dimengerti.
Namun, ada kesulitan. Calon besan itu berpesan supaya mobil kami datang dari arah timur, tidak dari utara. Itu artinya kami harus lewat gang sempit yang membelah rumah-rumah. Kami tinggal di Perumnas yang gang-gangnya pas-pasan, tidak disediakan untuk jalan mobil. Kami harus minta izin penghuni dari rumah ke rumah. Syukurlah diperbolehkan, mereka paham mengapa kami harus lewat gang itu.
Takut terlambat, kami datang beberapa menit sebelum waktu, tetapi kami dicegah masuk tempat upacara, masih harus menunggu di luar. Kami tidak boleh menggerutu, sebab sangat-nya (saatnya) memang belum tiba. Mengapa kami harus datang dari arah timur?
Hari itu naga dina (naga harian) ada di selatan, maka kami tidak boleh datang dari arah utara, supaya terhindar dari mulut sang Naga yang selalu menganga.
Demikianlah, orang Jawa melihat hari-hari yang biasa sebagai penuh dengan mitos dan misteri. Karenanya, orang harus tahu tentang petung (hitungan) supaya tahu persis tempat tinggal naga harian itu. Sama saja, bagi yang mau temantenan, mencari anak hilang, mencari pencuri, mencari rizki, bepergian, dan pindah rumah, semuanya harus mengenal hitungan.
Artikel di bawah ini ingin menjelaskan tentang sebab-sebab terjadinya pemikiran Jawa, bentuk-bentuk pemikiran itu, dan tentang perubahan-perubahan yang sudah, sedang dan akan terjadi.
ALAM SEBAGAI SUBYEK
Orang Jawa dulu tunduk kepada alam. Karena teknologi, pengetahuan, dan organisasi yang rendah, maka mereka melihat alam sebagai kenyataan yang serba dahsyat, tak terjangkau, dan menguasai manusia. Alam adalah subyek. Karena keadaan tak berdaya itu berlangsung ribuan tahun, katakanlah di lingkungan elite sampai tahun 1900-an-ketika orang menemukan the idea of progress (cita-cita kemajuan)-dan di lingkungan grass roots bahkan sampai masa kini, maka identitas kebudayaan Jawa diambil darinya. Kebudayaan itu tercermin dalam simbol-simbol (lambang-lambang), seperti kepercayaan, ilmu, mitos, sejarah, bahasa, seni, dan sastra.
Oleh karenanya, kebudayaan Jawa penuh dengan mitologisasi (memitoskan), sakralisasi (mengkeramatkan), dan mistifikasi (memandang segala sesuatu sebagai misteri). Kita tinggal membuka-buka buku primbon untuk mengetahui gejala ketiganya. Sebenarnya ketiga-tiganya tidak dapat dipisahkan, tetapi marilah kita coba memijahkan.
Mitologisasi dan sakralisasi dapat kita temukan pada orang, tempat, waktu, dan peristiwa. Mistifikasi menonjol dalam nama, kelahiran, waktu, keberuntungan, angka, dan huruf.
MITOLOGISASI
Mitologisasi orang, misalnya, ada mitos tentang Sunan Kalijaga. Konon Sang Wali bertemu dengan Nabi Khidir, Prabu Brawijaya, dan Panembahan Senapati, tetapi kapan-di mana-bagaimananya serba tidak jelas. Mengenai mitologisasi tempat ada mitos tentang Nyi Lara Kidul ratu laut selatan, Kiai Sapujagat penunggu Gunung Merapi, dan mitos tentang Sekh Jumadil Kubra yang kuburnya ada di mana-mana.
Mengenai mitologisasi waktu ada mitos tentang Betara Kala yang doyan makan bulan, lalu orang Jawa dulu kothekan (menabuh dengan irama tempat menumbuk padi) untuk mengusir Betara Kala. Juga mitos adanya naga dina (naga harian), naga sasi (naga bulanan), dan naga taun (naga tahunan) yang siap mencaplok siapa saja yang melanggar pantangannya. Mengenai mitologisasi peristiwa ada mitos tentang hadirnya Nyi Lara Kidul dalam Tari Bedaya.
SAKRALISASI
Sakralisasi orang bisa ditemukan pada pemuliaan para sayid keturunan Nabi, pada kiai yang dapat shalat Jumat di Mekah, dan pada orang berdarah biru. Sakralisasi tempat kita temukan pada kepercayaan tentang manjurnya doa di makam-makam keramat, tentang gunung, tentang sendang, tentang senthong (kamar dalam-tengah rumah Jawa).
Sakralisasi waktu kita temukan pada pantangan untuk mengadakan perhelatan pada bulan Sura dan perkawinan pada tahun Be, karena Be artinya bubar. Sakralisasi peristiwa misalnya terdapat dalam upacara mitoni (mengandung tujuh bulan) dan tedhak siti (upacara menginjak tanah).
MISTIFIKASI
Mistifikasi nama akan berpengaruh pada pemilihan jodoh, karena huruf pertama dari nama dapat menentukan jodoh-tidaknya pasangan. Mistifikasi kelahiran dapat dilihat pada perhitungan soal neptu: kalau kau lahir pada hari Pahing jangan cari jodoh yang lahir pada hari Wage, karena itu gehing artinya bentrok terus. Mistifikasi keberuntungan terletak dalam cocok tidaknya arah perjalanan: kalau ada maling pada hari anu kejarlah ke arah anu. Mistifikasi angka masih kita temukan dalam menebak angka lotere; kata mistik yang dipakai pencandu lotere adalah bentuk yang jelas dari mistifikasi angka. Gejala yang paling menarik adalah mistifikasi huruf ha-na-ca-ra-ka. Dalam huruf Jawa itu terkandung ajaran yang luhur. Berdasarkan othak-athik mathuk, Ki Hadjar Dewantara menemukan rumus mengenai kebudayaan: ca-ra-ka artinya cipta, rasa, karsa. Mantan Presiden Soeharto juga percaya akan ketinggian ha-na-ca-ra-ka, sehingga ia memerintahkan ahli-ahli bahasa Jawa untuk menyelidiki rahasianya.
ALAM SEBAGAI OBYEK
Orang Jawa modern tidak lagi melakukan mitologisasi, sakralisasi, dan mistifikasi. Alam tidak dipandang sebagai subyek, tetapi obyek. Obyek penelitian, obyek pemahaman, dan obyek penguasaan. Penyebabnya kurang lebih ada tiga, yaitu ilmu-ilmu modern, gerakan pembaruan agama, dan mobilitas sosial-budaya. Akibatnya, terjadi demitologasi, desakralisasi, dan demistifikasi.
-
Berkat pendidikan modern yang dikenalkan oleh orang Belanda. Sejak itu the idea of progress dari Zaman Pencerahan abad ke-17 dan ke-18 masuk di
Indonesia, yang di Jawa disebut kemajengan (kemajuan). Abipraya (perkumpulan abdi dalem di
Surakarta) yang lahir sebelum tahun 1900 sudah memakai slogan kemajuan itu. Demikian pula Budi Oetomo yang lahir pada tahun 1908 dan Muhammadiyah yang lahir pada tahun 1912. Taman Siswa yang lahir pada tahun 1922 sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Pencerahan yang menekankan akal budi dan nalar. Koran-koran di Jawa, seperti Darma Kanda juga mengagungkan kemajuan, tidak setuju dengan gugon Tuhon (Takhayul). Cita-cita kemajuan bahkan mencapai masyarakat bawah. Pada tahun 1900-an gagasan kemajuan diwujudkan dalam praktik sehari-hari, yaitu memotong rambut bagi laki-laki. Seperti diketahui, orang Jawa dulu lelakinya memelihara rambut pantang digelung, diberi sisir seperti dalam wayang. Akan tetapi, ironi-ironi selalu terjadi dalam sejarah. Pada 18 Agustus 2000 (bukan 1900!), Universitas Gadjah Mada, sebagai institusi resmi yang seharusnya menjunjung tinggi ilmu itu mengadakan ruwatan; tidak hanya wayangan, tetapi lengkap dengan upacaranya. Tidak kurang dari Presiden RI berpartisipasi dalam peristiwa itu, sedangkan para profesor dari berbagai institusi perguruan tinggi menjalani upacaranya. -
Bagaimana gagasan kemajuan itu masuk dalam pikiran pembaruan keagamaan? Dalam perjuangannya melawan takhayul (khurafat) orang Muhammadiyah, misalnya, selalu merujuk kepada dua hal, yaitu Islam dan kemajuan. Mitos tentang adanya danyang penjaga gunung, penjaga desa, dan penjaga pohon besar dan karenanya orang mengadakan sesaji diharamkannya. Sakralisasi orang, tempat, dan waktu juga dianggapnya sebagai khurafat. Minta-minta ke kuburan dan berdoa di makam keramat supaya doanya manjur adalah sirik (menyekutukan Tuhan) yang harus diberantas. Demikian pula nasib baik dan nasib buruk yang dahulu ditentukan oleh prihatin orang memperbaiki nasib melalui laku (perbuatan), seperti bertapa, mandi di air keramat, berpantang makanan yang merupakan mistifikasi digantikan dengan shalat sunat dan berdoa kepada Tuhan. Dengan kata lain, Muhammadiyah dan gerakan sejenisnya, melakukan rasionalisasi terhadap gejala-gejala alam dan manusia. Ironisnya, bahkan setelah bekerja lebih dari 85 tahun, hanya beberapa ratus meter dari Pusat Pimpinan Muhammadiyah atau beberapa puluh meter dari Kampung Kauman, tempat berdirinya organisasi itu, orang masih juga sampai masa kini melakukan sakralisasi terhadap air yang dipakai mencuci kereta-kereta keraton. Orang mengambil airnya untuk minum, mandi, dan keramas. Mereka percaya bahwa air bekas cucian itu mempunyai khasiat. Juga setelah lebih dari 85 tahun gerakan pembaruan bekerja, mereka tidak bisa menghapus kepercayaan kepada kekeramatan kuburan para wali, kekeramatan kiai dan sayid (keturunan Nabi), azimat (Jimat), dan rajah (benda-benda dengan tulisan tertentu).
-
Mobilitas sosial-budaya dapat mengikis mitologisasi, sakralisasi, dan mistifikasi. Mereka yang mengalami kenaikan tingkat sosial-budaya mengadopsi budaya dengan standar internasional. Budaya internasional itu jelas-jelas rasional belaka.
Pemikiran tradisional akan mengalami kesulitan untuk menerangkan percakapan melalui handphone antara Sydney dan Jakarta, demikian juga televisi yang detik itu juga sanggup meliput kejadian-kejadian dunia. Akan tetapi, tidak semua orang mengalami mobilitas sosial-budaya. Bagian terbesar penduduk masih berkubang dalam kemiskinan, kebodohan, dan cultural lag (ketertinggalan budaya). Banyak orang masih percaya pada sendang keramat, kuburan keramat, air keramat, jampi-jampi, petung, dan jimat.
Ada pula orang yang sudah mengalami mobilitas sosial-budaya, tetapi tidak mau meninggalkan “Kejawaannya”. Terhadap tosan aji (keris) mereka berusaha memberi penjelasan rasional. Mengenai tuah sebilah keris, mereka tidak lagi menerangkan dengan saktinya, tetapi karena unsur-unsur kimia dari logam. Keris yang dapat berdiri pada ujungnya bukan karena ada penjaganya, tetapi keseimbangan yang sempurna.
ALAM SEBAGAI SUBYEK-OBYEK
Tibalah orang Jawa pada zaman pascamodern. Di seluruh dunia sedang dikenal diet dan pengobatan alami yang tanpa efek samping, seperti tahu-tempe, akupuntur, dan pengobatan dengan tumbuh-tumbuhan. Greenpeace sangat gigih membela lingkungan. Orang pun mendirikan Partai Hijau. WWF (Wild World Fund for Nature) menjadi NGO yang mendunia. Rumusan bahwa manusia menguasai alam, alam sebagai obyek semata-mata dipertanyakan kembali.
Orang Jawa pun tidak ketinggalan. Di mana-mana ada poster besar pelawak Timbul sedang menawarkan produk jamu, “ueeenak tenan!” (Sungguh Enak!), katanya. Juga Basuki yang menawarkan obat masuk angin, “Wes.. Ewes.. Ewes…! Bablas angine!” (Keluar anginnya!) Di sebuah stasiun televisi Profesor Hembing dengan gaya meyakinkan memopulerkan tumbuh-tumbuhan sebagai obat. Di pasaran, buku-buku tentang khasiat tumbuh-tumbuhan sangat populer.
Teknologi yang dulu dianggap rahmat, banyak digugat sebagai perusak alam. “Teknologi Ramah Lingkungan” kemudian berada di atas angin.
Indonesia digugat dunia internasional karena merusak hutan, plastik tempat makanan siap-saji dituding sebagai perusak lingkungan, tingkat polusi sudah mengkhawatirkan, pendingin yang merusak ozon akan dilarang.
Alam dihormati lagi. Ia sekaligus adalah subyek dan obyek. Orang Jawa sekarang dan masa depan mulai berpikir ulang tentang hubungannya dengan alam: alam adalah subyek-obyek.
PENUTUP
-
Pemikiran orang Jawa berkembang sesuai dialektika: tesis-antitesis-sintesis. Tesisnya adalah “alam sebagai subyek”. Antitesisnya adalah “alam sebagai obyek”. Dan sintesisnya adalah “alam sebagai subyek-obyek”.
-
Sejak dulu ada persamaan dan perbedaan persepsi antara elite dengan massa. Persamaannya, misalnya, pada persepsi mengenai laku prihatin. Perbedaannya, misalnya, elite tidak punya persepsi bahwa air cucian kereta keraton itu keramat, sedangkan massa punya persepsi sebaliknya. Bagi raja-raja perkawinan pada bulan Suro itu boleh, sedangkan bagi rakyat terlarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar