Kamis, 06 Agustus 2009

Menampilkan Fiqih Yang Bersahabat dengan Perempuan

Bila dikaji lebih cermat, berbagai dalil yang dikemukakan dalam memposisikan perempuan, sering tidak dipaparkan sesuai konteks, atau malah hanya disampaikan sebagian saja. Misalnya, hadis, “Barangsiapa menuruti istrinya, maka ia masuk neraka”, sesungguhnya masih ada lanjutannya: Seseorang lalu bertanya kepada Rasulullah, “Apa yang dimaksud dengan menuruti?” Rasulullah menjawab, “Yaitu, bila suami memperbolehkan istrinya pergi ke kolam renang, pesta perkawinan, perayaan, dan ke tempat orang meninggal, dengan menggunakan pakaian tipis dan sangat halus.” Dengan demikian, jelaslah bahwa “menuruti” di sini adalah mengizinkan perempuan untuk berbuat sesuatu yang melanggar syariat. Mengenakan pakaian tipis keluar rumah memang jelas-jelas dilarang syariat. Namun karena tidak disampaikan secara utuh, hadis ini seolah-olah melarang laki-laki menuruti permintaan atau saran dari istri secara keseluruhan.

Sementara itu, hadis tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan, sesungguhnya telah disampaikan tanpa menyebutkan pendahuluannya sbb. “Ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat Putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa’i, dan Ahmad melalui Abu Bakrah). Jadi, hadis tersebut di atas ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan.

Mengenai hadis-hadis tentang kurang akalnya perempuan, mungkin bisa dicari jawabannya dari sisi psikologis atau konteks zaman, (atau mungkin bisa ditelusuri kesahihan hadis tersebut), sehingga kesan yang ditimbulkan bahwa Islam memandang rendah perempuan bisa dieliminasi. Karena, secara jelas dan tegas, Islam memang tidak pernah memandang rendah perempuan. Berbagai ayat Al Quran (3:195, 4:124, 16:97, 9:71-72, 33:35) secara tegas dan jelas memposisikan perempuan dan laki-laki secara setara dalam kewajiban mereka menegakkan nilai-nilai Islam, adanya sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan mereka, serta adanya pahala yang sama untuk amal saleh mereka. Satu-satunya faktor yang membedakan perempuan dan laki-laki di hadapan Allah SWT adalah keimanan dan ketakwaan mereka masing-masing.

Dalam masalah hukum waris yang sering diperdebatkan oleh kaum feminis (pelaku gerakan emansipasi – red), dan dituduh sebagai salah satu bentuk ketidakadilan Islam terhadap perempuan (karena perempuan hanya diberi setengah), sebenarnya bisa dibahas sbb. “Pada dasarnya Islam mensyariatkan untuk memberi imbalan yang sama atas prestasi yang sama, tidak pandang laki-laki atau perempuan, sedangkan soal waris bukanlah soal prestasi. Hukum ini harus didudukkan bersama-sama dengan hukum nafkah. Laki-laki wajib menafkahi saudara perempuannya, sedangkan perempuan tidak wajib menafkahi siapapun. Tanggung jawab keluarga dibebankan pada lelaki. Jika tanggungjawab ini tidak dijalankan, negara berhak campur tangan dan memaksanya sehingga hak-hak si perempuan itu tetap terpenuhi. Jadi, syariat Islam tidak berdiri sendiri-sendiri. Nikah, waris, nafkah saling berkaitan erat. Tidak bisa dipandang secara parsial.” ————

——– Tanpa penafsiran filosofis, hukum Islam akan dipahami secara salah. Seperti yang dikemukakan oleh Syahid Murtadha Muthahhari,”Masalah seputar hak-hak dan hukum perempuan dari sudut pandang Islam, yang muncul dalam masyarakat kita hari ini, selain memiliki dimensi praktis juga memiliki akar pada masalah keimanan. Saat ini, ada berbagai kepercayaan dalam masyarakat yang tidak memiliki dasar, tapi kepercayaan itu dinisbatkan kepada Islam. Di sisi lain, berbagai perintah Islam yang hakiki belum dipahami oleh masyarakat karena nilai falsafah yang ada di dalamnya belum dijelaskan. Akibat dari semua itu adalah disalahgunakannya berbagai aturan dalam agama Islam tentang wanita oleh pihak luar, sebagai cara untuk menyerang dasar-dasar agama Islam.”

Sebagai contoh praktis dalam hal ini adalah dalam menyampaikan masalah kewajiban hijab. Ketika kita hendak membahas masalah jilbab, umumnya, pembahasan yang dikemukakan adalah berkaitan seputar ayat dan hadis yang memberikan perintah hijab kepada kaum muslimah. Cara ini akan terus mendapatkan jawaban negatif dari para pendukung feminisme, karena mereka akan mempersoalkan tafsir ayat dan hadist tersebut dengan mengemukakan penafsiran dari para ulama yang tidak mewajibkan hijab.

Coba kita perhatikan bagaimana konsep hijab ini disampaikan oleh Sultana Yusuf Ali, seorang remaja Kanada, berikut ini.

“Saya sangat bersyukur karena tidak pernah menderita nasib harus bersusah-payah menaikkan atau menurunkan berat badan, serta mencari-cari warna lipstik yang sesuai dengan warna kulit saya. Saya telah membuat pilihan tentang apa yang menjadi prioritas, dan hal-hal seperti itu (kelangsingan badan, warna lipstik) bukanlah prioritas saya. Jadi lain kali, jika Anda melihat saya (menggunakan jilbab), jangan memandang saya dengan kasihan. Saya tidak sedang berada dalam paksaan dan saya bukan perempuan pengabdi laki-laki, yang menjadi tawanan di gurun sahara Arab. Saya telah terbebaskan.”

Dalam kacamata remaja muslimah ini, jilbab justru merupakan simbol kebebasan, yaitu kebebasan dari tatapan orang lain yang menilai postur tubuh, tata rambut, kecocokan baju dengan warna kulit, atau merek T-shirt yang dipakai. Sultana Yusuf Ali mengatakan, “My body is my own business” (Tubuh saya adalah urusan saya sendiri). Dalam bahasa yang sederhana dan “funky”, sesungguhnya Sultana Yusuf Ali tengah menyampaikan filosofi dari jilbab, yaitu membebaskan perempuan dari penilaian “kulit luar” dan perempuan akan dinilai dari akhlak, watak, dan keilmuannya. Nah, penjelasan atas filosofi sebuah hukum syari’i, terutama yang menyangkut tentang perempuan, yang telah disampaikan oleh para ulama ini adalah hal yang penting untuk disebarluaskan.———–

Semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar: